Kertas Posisi JBMI dan Organisasi-Organisasi BMI serta Anggota Keluarganya dalam Menyikapi “Zero Cost”

  • Post author:
  • Post published:26 Agustus, 2020
  • Post category:Tak Berkategori
  • Post comments:0 Comments

“TEGAKKAN HAK ASASI DAN KEADILAN BAGI BMI BESERTA ANGGOTA KELUARGANYA DENGAN MELIBATKAN PERAN ORGANISASI MASSA BMI DILUAR NEGERI DALAM PROSES PEMBAHASAN, PENGESAHAN DAN PENGAWASAN SEMUA KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA UNTUK BURUH MIGRAN”

Kepastian penegakkan hak-hak Buruh Migran Indonesia (BMI) yang tercantum di UUPPMI No. 18 antara lain Zero Cost, akses keadilan hukum bagi korban dan kehadiran negara sudah lama ditunggu oleh komunitas BMI dan anggota keluarganya. Sejak UUPPMI No. 18 disahkan tahun 2017, belum ada tindakan kongkret pemerintah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendesak yang dihadapi BMI dan anggota keluarganya. Penelantaran oleh Negara ini semakin terkuak dan memburuk di tengah pandemi COVID-19, salah satu faktornya karena Negara terus menerus mengabaikan keberadaan dan peran organisasi-organisasi BMI diluar Negeri yang selama ini justru menjadi sandaran bagi pengaduan, pemberdayaan dan pendampingan kasus-kasus BMI.

Pada 17 Agustus 2020, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani menerbitkan Peraturan BP2MI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia. BP2MI resmi menerbitkan peraturan tersebut tepat pada perayaan Hari Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia.[1] Namun peraturan tersebut menjadi momok bagi BMI itu sendiri karena:

  1. Pembahasan dilakukan tanpa melibatkan organisasi atau kelompok BMI di berbagai Negara penempatan sebagai pihak yang selama ini menjadi korban tingginya biaya penempatan (overcharging) dan yang akan menanggung dampak dari peraturan baru yang akan diterapkan.

Hal ini juga mencederai Konvensi ILO 181 Pasal 7 (ayat 2); Untuk kepentingan pekerja yang bersangkutan, dan setelah berkonsultasi dengan organisasi pemberi kerja dan organisasi pekerja yang paling mewakili, instansi yang berwenang dapat menetapkan pengecualian tentang ketentuan dalam ayat 1 di atas untuk golongan pekerja tertentu, serta jenis-jenis jasa tertentu yang diberikan oleh badan penyalur tenaga kerja swasta. [2]

  1. Rancangan peraturan baru masih merinci berbagai jenis biaya yang harus dibayar calon BMI/BMI sehingga bertentangan dengan semangat “Zero Cost”. Selama pemerintah masih memasukkan biaya-biaya yang dibebankan kepada calon BMI/BMI, maka pemerintah sesungguhnya tidak berniat untuk membebaskan BMI dari biaya penempatan. 
  2. Tidak ada pembahasan tentang mekanisme penuntutan ganti rugi bagi korban pelanggaran P3MI yang mudah, transparan dan adil, baik di Negara Indonesia maupun di Negara-Negara penempatan, padahal, ini justru menjadi prioritas mayoritas BMI dan anggota keluarganya. Sampai sekarang, BMI masih tidak bisa dengan mudah menuntut P3MI yang merampas hak-hak mereka. Bahkan KBRI/KJRI di luar Negeri juga tidak menerima pengaduan terkait pelanggaran biaya penempatan. Meskipun pemerintah menyediakan ruang pengaduan dan mediasi, namun penanganannya sangat lamban dan dibiarkan tanpa ada penyelesaian selama bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keberpihakan pemerintah lebih kepada swasta (P3MI).

Dalam prakteknya, kehadiran Negara untuk bertanggungjawab terhadap pemenuhan Hak Asasi BMI sebagai pekerja dan sebagai manusia tidak pernah ada. Di satu sisi, pemerintah hanya memanfaatkan BMI untuk mengeruk keuntungan dari biaya-biaya yang dibayarkan oleh BMI dan kiriman uang (remitansi). Namun disisi lain, pemerintah melepas tanggungjawabnya untuk mengurus dan melindungi BMI dengan menswastanisasi program pengiriman tenaga kerja baik yang dilakukan oleh P3MI dan Agen (P to P) atau antar pemerintah (G to G). Swastanisasi tersebut diterapkan dengan memaksa seluruh BMI untuk membeli asuransi BPJS ketenagakerjaan; membayar sendiri tes kesehatan dan psikologi; membiayai sendiri training pra pemberangkatan, uji kompetensi, PAP dan seluruh surat-surat keberangkatan.

Lebih dari itu, sektor PRT sebagai jumlah terbesar BMI diluar Negeri sekitar 60%, masih diserahkan sepenuhnya kepada P3MI; mulai perekrutan, pelatihan, penempatan hingga perlindungan. PRT migran diikat dalam sistem “perbudakan modern” yang dilanggengkan melalui perjanjian penempatan antara P3MI dan BMI, peniadaan hak kontrak mandiri dan mengikat dalam sistem hutang dengan lembaga-lembaga keuangan, sehingga BMI dan anggota keluarganya terjebak ke dalam sistem perbudakan hutang.

Penolakan negara untuk hadir melindungi BMI sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) ditunjukkan dengan penolakan pemerintah untuk meratifikasi beberapa konvensi penting, antara lain Konvensi ILO No. 189/2011 untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Konvensi 188/2007 tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan dan Konvensi ILO 181/1997 tentang Penyalur Tenaga Kerja Swasta yang menjamin bahwa “Badan Penyalur Tenaga Kerja (P3MI/agen) tidak boleh membebankan langsung maupun tidak langsung, seluruhnya atau sebagiannya, biaya kepada para pekerja”.[3]

Di tengah pandemic virus, BMI harus bertarung di garda terdepan melawan COVID-19 dan juga aturan-aturan yang dimunculkan pemerintah Indonesia maupun pemerintah penempatan, yang semakin memperburuk kondisi BMI. Pemerintah Indonesia tidak meringankan beban ini dengan membebaskan BMI dari biaya penempatan, tidak menolong BMI yang sedang diancam P3MI karena tidak bisa melunasi “potongan” akibat PHK dan juga menolak membayar “potongan”, danbahkan BMI yang dipulangkan dan anggota keluarganya tidak diberi bantuan karena tidak termasuk kategori miskin versi pemerintah. Lebih lanjut, calon BMI dan BMI yang sedang cuti juga masih harus menanggung beban tambahan untuk tes PCR, biaya karantina, tranportasi dan kerugian lain. Para calon PRT migran juga diberitahu oleh para P3MI bahwa mereka tidak akan diberi gaji selama masa karantina dan juga hak libur dengan alasan COVID-19.

Dalam rangka menegakkan Zero Cost, Pemerintah perlu mempunyai itikad baik untuk melindungi warganya dan menyiapkan skema yakni dengan melibatkan organisasi atau kelompok BMI di Negara-Negara penempatan dan menggunakan aspirasi-aspirasi kami dalam pembahasan, pengesahan dan pengawasan; menjamin akses keadilan bagi korban dengan menciptakan sistem pengaduan dan ganti rugi yang mudah dijangkau, transparan, adil dan berorientasi pada pemenuhan hak asasi; dan meratifikasi konvensi-konvensi Internasional yang penting bagi perlindungan BMI dan anggota keluarganya.

Situasi pandemi COVID-19 saat ini, semakin membuktikan bahwa pemerintah Indonesia tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah di dalam Negeri, yang memaksa jutaan orang terpaksa bermigrasi keluar Negeri, karena beberapa faktor antara lain tidak ada lapangan kerja yang layak, terjadinya perampasan tanah, sistem upah murah, PHK sepihak, swastanisasi pelayanan, maraknya pembakaran hutan, penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang-orang yang kritis dan seluruh kebijakan yang hanya menguntungkan investor asing dan segelintir elit di dalam Negeri tapi merugikan mayoritas rakyat Indonesia.

Kenyataan diatas mengharuskan seluruh BMI dan anggota keluarganya untuk semakin teguh berjuang demi penegakkan hak asasinya, memperkuat dan memperluas organisasi progresif BMI dan anggota keluarganya, dan menggalang dukungan luas dari masyarakat lokal dimana kita bekerja dan masyarakat Indonesia. Untuk itu, kita harus meyakinkan kesehatan kita sendiri di tengah Negara tidak menjaminnya.  

Melalui kertas posisi ini, kami organisai buruh migran di luar negeri dan organisasi mantan buruh migran dan anggota keluarganya di Indonesia menuntut pemerintah untuk :

  • Tegakkan dan terapkan Zero Cost Versi Buruh Migran
  • Ciptakan sistem pengaduan overcharging yang transparan, mudah di akses buruh migran di luar negeri dan lebih berpihak pada keadilan korban
  • Libatkan organisasi buruh migran di luar negeri dalam sistem pengawasan penerapan Zero Cost
  • Libatkan organisasi buruh migran di luar negeri dalam pembahasan, pengesahan dan monitoring semua kebijakan yang mengatur hidup dan kerja buruh migran Indonesia.

Kami organisasi buruh migran yang mendukung kertas posisi ini adalah :

  1. Asosiasi Buruh Migran Indonesia di Hong Kong – ATKI HK
  2. Indonesian Migrant Union – IMWU Hong Kong dan Macau
  3. Gabungan Migran Muslim Indonesia – GAMMI HK
  4. Liga Pekerja Migran Indonesia – LIPMI
  5. Persatuan Buruh Migran Tolak Overcharging – PILAR HK
  6. Ganas Community- Taiwan
  7. IPPIT – Taiwan
  8. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia – Kabar Bumi
  9. Indonesian Family Network – IFN Singapore

Lampiran Praktek Penerapan Overcharging di Taiwan :

  • Di negara Taiwan selama Pandemi COVID-19 tidak pernah menutup negaranya untuk menerima kedatangan buruh migran, namun ada pengetatan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua warga negara asing yang masuk ke Taiwan termasuk buruh migran.
  •  
  • Namun banyak majikan yang tidak mau membayar biaya karantina dan akomodasi untuk buruh migran yang masuk sehingga ada buruh migran  mengambil cuti pulang tapi tidak dibolehkan untuk masuk kembali bekerja di Taiwan.
  • Sehingga buruh Migrant yg cuti mengalami kerugian dengan hilang nya Tiket dan kesempatan bekerja karena diputus kontrak secara sepihak dan tidak ada ganti rugi dalam hal ini.
  •  
  • Praktek penerapan biaya penempatan sejak disahkannya kepmenaker tentang biaya penempatan tahun 2012 dan juga zero cost yang tercantum dalam UU PPMI no 18/2017, buruh migran masih membayar biaya yang melebihi aturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia.
  •  
  • Di Taiwan, majikan yang mengambil PRT migran diharuskan membayar 1 bulan gaji, dan pajak ke pemerintah Taiwan sebesar NT 2000/per bulan selama 3 bulan ( NT 2000×3 = NT 6000), dan wajib membelikan asuransi untuk pekerjanya.
  •  
  • Sedangkan buruh migran yang bekerja di sektor PRT dan sektor ini adalah jumlah buruh migran Indonesia terbesar di Taiwan, diharuskan membayar biaya sebesar NT 1500/bulan untuk biaya service agency sepanjang masa kontrak!askes sebesar NT 335 dan untuk perpanjangan kontrak membayar biaya yang diatas aturan standart(1150 NT)hingga mencapai- 20,000 bagi informal dan biaya BPJSTKI sebagai syarat leges PK di KDEI
  •  
  • Untuk buruh migran yang bekerja di sektor formal dikenakan biaya NT hingga 90,000, biaya agen sebesar NT 1,500, Askes 335 dan ASTEK NT 476!

Lampiran Praktek Penerapan Overcharging di Singapore :

  • Majikan yang menghire PRT dari Indonesia, Pemerintah membebankan $1700, testing, dan kesepakatan-kesepakatan dibagi 2 dengan PRT. Potongan bertambah 4-6 bulan $450 (jika gaji $600, maka hanya tersisa $150/per bulan)

[1] https://nasional.kompas.com/read/2020/08/17/23193871/bp2mi-terbitkan-aturan-pembebasan-biaya-penempatan-pekerja-migran

[2] https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/legaldocument/wcms_124571.pdf

[3] https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/legaldocument/wcms_124571.pdf

Tinggalkan Balasan